Wilayah Uyainah terpaksa ditinggalkannya. Tanpa berbekal layaknya seorang yang bepergian, kaki pun terus menjejak meninggalkan kampung halaman. Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pergi meninggalkan Uyainah. Ia pergi setelah penguasa Uyainah memintanya untuk tidak lagi menyampaikan dakwahnya di Uyainah. Di Uyainah ia dilahirkan. Di Uyainah itu pula ia dididik dengan Islam. Uyainah adalah negeri tempat menyemai dakwah. Namun, saat dakwah merekah di Uyainah, perseteruan pun tak terelak. Unsur ketidaksukaan terhadap dakwah yang ditebarkan Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di Uyainah mulai muncul. Beberapa kalangan mulai membincangkan dakwah yang diterapkan Asy Syaikh. Saat penduduk Uyainah dibebaskan dari beragam kesyirikan, saat itu reaksi penentangan menguak. Penentangan justru tak semata dari dalam wilayah Uyainah.
Justru, penentangan keras diprakarsai oleh orang-orang berpengaruh dari luar Uyainah, seperti Ahsa. Dakwah Asy Syaikh di Uyainah tampak membawa kebaikan. Masyarakat Uyainah yang dulu memiliki pohon yang dikeramatkan, setelah dakwah tauhid menggelinding, pohon itu ditebang. Penduduk Uyainah telah mengerti makna tauhid. Penebangan pohon merupakan wujud kesadaran yang tercerahkan hakikat tauhid. Begitu pula kuburan yang dijadikan ajang kesyirikan, melalui dakwah tauhid yang hikmah, kuburan itu pun ditinggalkan. Dakwah tauhid dan tegaknya As Sunnah berkibar di Uyainah. Namun, telah menjadi tabiat dakwah, bahwa perseteruan antara al haq dengan al batil akan senantiasa ada. Pergulatan antara para wali Allah dengan bala tentara setan akan tetap berkecamuk. Perseteruan tak kunjung padam. Itu telah berlangsung berabad lamanya. Semenjak masa para nabi Allah, perseteruan itu telah berdentang keras. Ahlu tauhid berhadapan ahlu syirik, ahlu sunnah berhadapan ahlu bid’ah, ahlu haq berhadapan ahlu batil, ahlu taat berhadapan ahlu maksiat, begitulah keadaannya. Allah ﷻ berfirman:
وَكَذٰلِكَ جَعَلنا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ المُجرِمينَ ۗ وَكَفىٰ بِرَبِّكَ هادِيًا وَنَصيرًا
”Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi setiap nabi, musuh dari kalangan orang-orang berdosa. Dan cukuplah Rabb-mu menjadi Pemberi hidayah dan Penolong.” [Q.S. Al-Furqan:31].
Menjelaskan ayat di atas, Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di رَحِمَهُ اللهُ menyatakan, bahwa (yang dimaksud orang-orang yang berdosa), yaitu orang-orang yang tidak menghendaki kebaikan. Mereka justru menentang, menolak dan mendebat dengan kebatilan. Tampak nyata, sebagaimana dijelaskan Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As’Sa’di, tindakan dan perilaku orang- orang berdosa yang menentang dakwah yang mengusung kebenaran.
Musuh-musuh dakwah tak lantas berpangku tangan. Saat kekokohan dakwah yang berlandaskan hujjah syariah tak bisa dibendung dan ditaklukkan, mereka merangkai siasat licik. Mereka provokasi para tokoh agama. Mereka hembusi beragam kabar hingga terpengaruh. Namun, ketika kelompok tokoh agama ini tiada mampu mematahkan dakwah Asy Syaikh, mereka pun mulai menggoyang penguasa di Uyainah. Saat itu, keberadaan Uyainah sangat bergantung dengan daerah Ahsa. Melalui penguasa Ahsa inilah para pembenci dakwah Asy Syaikh melakukan makar. Penguasa Ahsa meminta agar penguasa Uyainah menghentikan laju dakwah Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab رَحِمَهُ اللهُ. Tekanan demi tekanan diberikan kepada penguasa di Uyainah. Termasuk bentuk tekanan yaitu ancaman blokade terhadap akses pelabuhan dan embargo bantuan finansial dari Ahsa. Tekanan bertubi terhadap penguasa Uyainah akhirnya berbuah. Walau pun Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab coba mengokohkan hati penguasa Uyainah, namun upaya itu tak berhasil. Penguasa Uyainah lebih memilih mempersilakan Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab meninggalkan Uyainah.
Pahit. Getir terasa. Keadaan dakwah semacam itu bisa menerpa. Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pun tinggalkan Uyainah. Bumi Allah amatlah luas. Masih banyak lahan untuk menyemai dakwah dan kebaikan. Permusuhan, kebencian, hasad erat menjadi satu memporak-porandakan bangunan dakwah. Itu bisa terjadi di mana saja. Sebab, musuh dakwah akan selalu mengerahkan segenap daya guna meruntuhkan dakwah tauhid yang mulia ini. Tak cuma ahlu syirik yang merasa terusik. Ahlu maksiat pun merasa resah. Itu terjadi kala dakwah yang disampaikan Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menguliti beragam kebatilan. Ya, siapa pun mengusung kebatilan, pasti merasa mendapat teguran. Hanya orang-orang yang mendapat hidayah taufik dari-Nya, yang lantas segera rujuk pada kebenaran dan menata diri. Sebaliknya, bagi yang dikuasai hawa nafsu, mendengar dakwah Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab akan semakin memuncak kebencian dan permusuhannya. Maka, tak heran bila banyak tuduhan dusta yang dialamatkan kepada Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Sosok mulia ini disudutkan dengan berbagai pernyataan yang menyesatkan.
Setelah meninggalkan Uyainah, Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memilih menetap di wilayah Dir’iyyah, wilayah timur Jazirah Arab, dekat daerah Qathif. Dakwah Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab diterima baik oleh sebagian tokoh dan pemuka masyarakat Dir’iyyah. Di Dir’iyyah inilah Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dipertemukan dengan pemimpin Dir’iyyah yaitu Muhammad bin Su’ud. Sang Pemimpin menyambut hangat kehadiran Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di wilayah kekuasaannya. Bahkan, Muhammad bin Su’ud berjanji untuk memberikan perlindungan, menjaga serta membantunya. Keduanya mengikat janji untuk berjuang menegakkan dakwah, melakukan perbaikan serta menyebarkannya ke tengah masyarakat. Peristiwa monumental ini terjadi pada Tahun 1157 H (1744 M). Berdasar kesepakatan dan saling janji inilah lantas berdiri pemerintahan baru, yaitu Pemerintahan Dinasti Saudi yang pertama.
ISU WAHABI
Sebutan wahabi sudah tak asing bagi sebagian muslimin. Sebutan itu digunakan pihak-pihak tertentu untuk memojokkan dan menjatuhkan pihak yang dianggap sebagai lawan. Maka, untuk membonsai alur nalar umat, pelabelan wahabi -dengan persepsi negatif, tentunya- gencar disuguhkan ke tengah umat. Saat Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab beserta Alu Ibnu Su’ud mampu membangun wilayah Najed menjadi wilayah bersendikan tauhid, saat itulah ada pihak-pihak yang tak selaras paham menjadi tergeser.
Sebagaimana diketahui, melalui dakwah kemurnian tauhid, keyakinan para penyembah kubur tentu tidak akan mendapat tempat. Kuburan yang dijadikan tempat ritual penyembahan dicegah untuk dikunjungi. Bila ada bangunan kubah yang dijadikan ritual kesyirikan dihancurkan. Begitu pula pohon atau bebatuan yang dikunjungi dan dijadikan tempat penyembahan niscaya dihancurkan. Tempat-tempat yang sekiranya merusak akidah umat tak akan dibiarkan untuk tetap ada. Sikap tegas yang ditunjukkan Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab رَحِمَهُ اللهُ beserta Alu Ibnu Su’ud menjadikan pihak-pihak yang mendukung -bahkan memiliki keyakinan yang salah dalam memperlakukan kuburan- mengambil peran oposan. Bagi kalangan yang membangun keyakinan beragama dalam bentuk pemujaan terhadap kubur, seperti kaum Syiah misalnya, tentu akan sangat antipati dengan dakwah yang diserukan Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Dari sikap antipati inilah dimunculkan istilah wahabi dengan konotasi yang sangat negatif.
Wahabi pun digambarkan sebagai orang yang suka mengafirkan orang lain, memiliki pemahaman takfiri, suka menyesatkan kelompok lain, dianggap biang terorisme, radikal, bengis, jauh dari sikap hikmah, keras, intoleran, buta kearifan lokal, dan segudang pelabelan buruk lainnya. Kampanye hitam ini sengaja digaungkan untuk menanamkan kebencian terhadap dakwah tauhid, dakwah sunnah dan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
Sikap antipati dan menaruh kebencian terhadap dakwah Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tak semata dilakukan para pemuja dan/atau penyembah kubur, pohon, batu, serta para dai penyebar khurafat. Perseteruan terhadap dakwah yang dikembangkan Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab kini juga dilakukan kaum pergerakan, seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbu Tahrir. Walaupun perseteruan kedua pergerakan tersebut dibungkus antipati terhadap kebijakan-kebijakan politik Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia. Namun melihat dasar pemikiran dan keyakinan yang dibangun kedua pergerakan tersebut tak bisa dilepaskan dari sikap antipati terhadap dakwah tauhid.
Begitu pula perseteruan yang dikobarkan kaum liberal. Walau isu yang diangkat tentang pemusnahan situs-situs bersejarah di Saudi Arabia dan hal-hal politis, namun dibalik itu semua ingin membangun stigma negatif terhadap Kerajaan Saudi Arabia sebagai negara tauhid. Kaum liberal merupakan kaki tangan Barat (kaum kafir) yang tak akan ridha bila Islam dan kaum muslimin berkemajuan dalam ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Berkembangnya dakwah Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hingga kini, telah membuka topeng negara Iran yang menganut pemahaman Syiah Rafidhah. Para ulama Saudi Arabia telah banyak berbicara tentang pemahaman sesat Syiah Rafidhah. Pemahaman agama yang diusung negara Iran akan sangat membahayakan bagi kaum muslimin. Selain menghancurkan prinsip-prinsip Islam, Syiah Rafidhah pun menularkan pemahaman ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme. Tak mengherankan bila Iran sangat giat menebarkan isu anti Wahabi. Dengan isu anti Wahabi, Syiah Rafidhah akan sangat diuntungkan secara keyakinan, ideologi, dan politik.
Isu Wahabi di Indonesia sudah ada sejak sebelum kemerdekaan. Di Minangkabau, tahun 1911, dikenal tiga dai yang sering berselisih paham dengan kaum tua. Ketiganya pernah berguru ke Mekkah. Mereka adalah Abdullah Ahmad, Muhammad Rasul, dan Muhammad Djamil Djambek. Muhammad Djamil Djambek dikenal sebagai musuh besar kaum Tarekat Naqsabandiyah di Minangkabau. Begitu pun Muhammad Rasul, berselisih paham dengan ayahnya sendiri yang merupakan Syaikh Naqsabandiyah. Muhammad Rasul pun pernah mengumpulkan berbagai buku sihir, buku sufi, berbagai jenis jimat lalu dibakarnya. Kaum tradisional Minangkabau menjuluki ketiganya sebagai penyebar paham Wahabi.
Bila kini isu Wahabi itu kembali marak, berarti fenomena dakwah dulu kembali berulang. Walau kini keadaannya dibarengi dengan isu terorisme dan isu Wahabi pun dikait-kaitkan. Diantara yang menyeret nama Wahabi ke pusaran aksi terorisme yaitu AM. Hendropriyono. Melalui bukunya yang berjudul Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, AM. Hendropriyono menyeret nama Wahabi dalam pusaran isu terorisme. Padahal bila melihat kenyataan kini, justru Negara Wahabi, Saudi Arabia, menjadi salah satu negara terdepan dalam memerangi terorisme. Aksi nyata Saudi Arabia ini menjadi bukti tak terbantahkan bagi siapa saja yang mengaitkan terorisme dengan pemahaman yang diajarkan Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Sekaligus sebagai bukti, bahwa penganut Wahabi adalah antiterorisme.
Lantas, mengapa aksi terorisme dikaitkan dengan Wahabi? Tentu, semua itu tidak lepas dari konspirasi global. Kaum liberal (yang merupakan antek Barat), Syiah, para penyembah kubur, para pemuja khurafat dan takhayul, Khawarij (seperti, Ikhwanul Muslimin, ISIS, Al Qaidah), Hizbu Tahrir, dan lainnya tentu tak akan tinggal diam melihat pemahaman pemurnian Islam -yang didukung Saudi Arabia- tiada henti ditebarkan. Mereka saling membahu untuk menjegal dakwah tauhid dan sunnah. Mereka memiliki musuh yang satu, yang dibahasakan oleh mereka: Wahabi. Maka, itulah perseteruan antara hizbullah (para tentara Allah) dengan hizbusyaithan (para tentara setan). Perseteruan nan tak kunjung padam. Allahu a’lam.
Oleh: Al Ustadz Abu Faruq Ayip Syafrudin
Sumber: Perseteruan Tak Kunjung Padam Majalah Qudwah
Edisi 56 Vol.05 1439H