Tujuan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab mencangkup beberapa hal.
Yang pertama, dan paling utama adalah Mengesakan Allah dalam beribadah. Inilah inti dakwah beliau. Dan itu pula lah inti dakwah para Rasul sejak Nabi Adam ‘alaihi sallam sampai Nabi Muhammad ﷺ.
Yang kedua, menolak kesyirikan dengan berbagai macam bentuknya. Dan ini juga misi dakwah seluruh para Rasul. Di dalam Al Quran begitu banyak tersebutkan kisah para Rasul yang memberantas kesyirikan dan juga peringatan keras langsung oleh Allah b terhadap segala bentuk kesyirikan.
Yang ketiga, menutup segala hal yang akan mengarahkan kepada kesyirikan. Ini juga mengikuti Rasulullah ﷺ
yang banyak memberikan perintah untuk menutup segala jalan yang dapat mengantarkan kepada segala bentuk kesyirikan,sebagaimana beliau melarang para sahabatnya
untuk mengatakan “maasya Allah wa syi’ta”(dengan kehendak Allah dan kehendakmu (wahai Rasulullah)) dan memerintahkan untuk menggantinya dengan ucapan “maasya Allah wahdahu (dengan kehendak Allah semata)”. Ini merupakan upaya untuk menutup jalan-jalan yang dapat mengantarkan kepada kesyirikan.
Yang keempat, memerangi kebid’ahan-kebid’ahan. Dan ini juga merupakan wasiat Rasulullah ﷺ sebagaimana dalam sabdanya, “wa iyyakum wal muhdatsatil umuur” ( dan berhati-hatilah kalian dari perkara bid’ah).
Ujian pun Datang
Saat beliau di Uyainah bersama Penguasa Uyainah melaksanakan syariat Islam semaksimal mungkin, pernah ada suatu kejadian. Datang seorang wanita yang mengaku berbuat zina meminta untuk ditegakkan hukuman syar’i atasnya. Namun demikian, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab tidak lantas bersegera mengiyakan. Akan tetapi menunggu pengakuannya hingga keempat kalinya. Setelah itu pun beliau masih memperjelas dan menegaskan lagi keadaan wanita tersebut, apakah ia wanita yang sehat pikirannya ataukah tidak, apakah ia melakukannya karena pemerkosaan ataukah tidak. Setelah semuanya jelas, bahwa wanita itu dalam keadaan sehat akalnya dan tidak dalam keadaan dipaksa, maka tidak ada jalan lain, kecuali ketentuan syariat harus ditegakkan. Maka kemudian ditegakkanlah hukum rajam kepada wanita tersebut oleh penguasa.
Yang dilakukan Syaikul Islam ini adalah mencontoh persis apa yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Yakni pada saat Rasulullah ﷺ didatangi seorang wanita yang mengaku berzina, beliau pun menunggu pengakuannya hingga yang keempat, kemudian diperjelaskan keadaannya apakah dalam keadaan sehat pikirannya dan tidak dalam keadaan dipaksa atau terpaksa, baru kemudian dilakukan hukum rajam. Demikian pulalah yang dilakukan Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab. Maka yang beliau lakukan ini, sama sekali bukan merupakan pelanggaran syariat dan bid’ah, apalagi beliau tidak melakukannya sendirian akan tetapi atas persetujuan dan bersama penguasa. Bahkan yang mengeksekusi pertama kali adalah penguasa Uyainah, Usman bin Mu’amar sendiri.
Akan tetapi ujian dari Allah pun datang tak terelakkan. Semuanya terjadi dengan kesempurnaan hikmah-Nya. Peristiwa penegakkan hukum tersebut sangat memicu penentangan dari berbagai pihak karena pada waktu itu banyak kaum muslimin yang tidak mengetahui hukum agama akibat tersebarnya kejahilan (kebodohan). Hingga puncaknya kemudian datang tekanan dari penguasa Ahsa’.
Sedemikian kuatnya tekanan ini menyebabkan penguasa Uyainah tidak kuasa menahannya. Akhirnya, karena tekanan ini, Usman bin Mu’ammar kemudian meminta Syaikhul Islam untuk meninggalkan Uyainah. Maka kemudian dengan berjalan kaki, Syaikh pindah ke daerah Dir’iyyah.
Negeri Dir’iyyah
Alasan beliau memilih daerah Dir’iyyah antara lain adalah karena daerah tersebut merupakan daerah yang terlepas dari pengaruh kekuasaan dari daerah lain. Dir’iyyah tidak seperti Uyainah yang terpengaruh oleh kekuasaan Ahsya’, sehingga terkadang tidak kuasa ketika mendapat tekanan darinya. Dir’iyyah merupakan daerah yang independen (berdiri sendiri) sehingga tidak ada kekhawatiran untuk mendapat tekanan dari daerah mana pun. Alasan yang kedua adalah bahwa penguasa Dir’iyyah yakni keluarga al Su’ud terkenal sebagai keluarga penguasa yang sangat memerhatikan ilmu syar’i dan menerapkannya. Alasan yang lain adalah karena ada beberapa murid Syaikh sendiri yang bertempat tinggal di sana, sehingga sekiranya ada tempat persinggahan sementara.
Sesampainya di Dir’iyaah, maka disambutlah beliau oleh murid-muridnya di sana dan tinggal di salah sebuah rumah di antara mereka. Maka tinggallah beliau di sana memberikan pengajaran kepada murid-muridnya tanpa menampakkan diri. Dengan izin dari Allah سبحانه و تعالى, ternyata dari saudara-saudara Amir Dir’iyyah saat itu -Muhammad bin Su’ud- ada yang telah mengenal Syaikh sebelumnya dengan perkenalan yang baik. Sehingga yang demikian ini menyebabkan mereka berupaya mempertemukan Syaikh dengan Amir Dir’iyyah. Akhirnya melalui keluarga Amir Dir’iyyah bertemulah kedua tokoh tersebut.
Maka disampaikanlah oleh Syaikh tentang berbagai permasalahan syar’i sehingga pemaparan tersebut disambut baik oleh Muhammad bin Su’ud. Hal ini dapat dipahami karena penguasa Dir’iyyah tergolong cukup memiliki perhatian terhadap permasalahan diniyyah. Sehingga pada saat itu terjadilah kesepakatan untuk saling membela Islam di antara keduanya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1157 H / 1744 M. Boleh dibilang saat itulah titik awal munculnya Kerajaan Arab Saudi.
Oleh: Ustadz Qomar Z.A, Lc
Sumber : Napak Tilas Sejarah Berdirinya KERAJAAN ARAB SAUDI Majalah Qudwah EDISI 30 VOL.03 2015