Bani Tamim nama sebuah kabilah (suku) di kalangan Arab. Dalam Bani Tamim terdapat beberapa unsur kabilah yang lebih sedikit jumlah populasi orangnya. Di antara unsur dalam kabilah Bani Tamim, tersebut nama Alu Wuhabah. Dari unsur Alu Wuhabah inilah terdapat sebuah keluarga Alu Musyarraf. Keluarga Alu Musyarraf dikenal sebagai keluarga yang menjaga tradisi keilmuan. Banyak dari kalangan Alu Musyarraf yang menjadi ulama saat itu. Keluarga besar Alu Musyarraf ditengarai tinggal di daerah Usyaiqir. Dari daerah ini lantas menyebar ke beragam penjuru di seputar Najed.
Asy Asyaikh Muhammad bin Abdul Wahhab رَحِمَهُ اللهُ termasuk salah seorang dari Alu Musyarraf. Maka, bila diurut nasabnya, akan bersambung ke nama kakeknya yang bernama Musyarraf. Begini urut-urutan nasabnya, Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad bin Buraid bin Musyarraf. Kakek beliau, Sulaiman bin Ali, adalah seorang ulama terkemuka pada masanya. Sang Kakek sempat menduduki sebagai hakim di wilayah Raudhah Sudais. Kemudian pindah ke daerah Uyainah.
Di daerah ini, selain sebagai hakim, beliau pun mengajar ilmu-ilmu agama bagi para penuntut ilmu. Di antara para penuntut ilmu, terdapat nama Abdul Wahhab dan Ibrahim, yang keduanya merupakan anak beliau sendiri. Dalam perkembangannya, putra Asy Syaikh Sulaiman bin Ali, yaitu Abdul Wahhab, mampu menggapai derajat keilmuan yang mapan. Sehingga pantas bila menduduki jabatan sebagai hakim di wilayah Uyainah.
Dalam keadaan keluarga yang sedemikian tinggi penghormatannya terhadap ilmu agama, Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tumbuh kembang dan dibesarkan. Pada tahun 1115 H/1703 M di Uyainah, Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab lahir. Sejak kecil Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah menampakkan perhatiannya yang baik terhadap ilmu. Materi yang kali pertama disentuhnya ialah menghafal Al Quran. Saat usia belum menginjak baligh, beliau telah bisa menghafal Al Quran secara menyeluruh.
Proses belajar dijalani langsung di bawah bimbingan sang ayah. Setelah menyelesaikan hafalan Al Quran, Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab melanjutkan belajar ilmu fikih. Dalam usia yang masih sangat muda sekali, beliau mempelajari pemahaman fikih Hambali dari ayahnya langsung. Semangat dan perhatian yang sedemikian besar dari sosok Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap ilmu, serta didorong kecintaannya terhadap ilmu, menjadikan diri beliau mampu menguasai pelajaran secara baik. Biidznillah (dengan izin Allah). Faktor internal yang berasal dari dirinya inilah yang menjadi modal bagi keberlangsungan menuntut ilmu. Selain tentunya, faktor dari luar dirinya, seperti lingkungan keluarga yang tak sedikit memberi andil bagi semangatnya untuk menggapai ilmu.
Ya, faktor keluarga memegang peran yang besar bagi keberhasilan dalam menuntut ilmu [ba’dallah, setelah takdir-Nya]. Sebuah keluarga yang telah terpateri kebiasaan bergelut dengan kehidupan ilmiah, tentu akan berbeda dengan keluarga yang “mati” tanpa hembusan ilmu. Kondisi keluarga yang memberi dorongan telah melecut Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk terus bersemangat meraup ilmu. Ini merupakan modal yang sangat bernilai bagi Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Setelah belajar bersama sang ayah, Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tak lantas berhenti. Beliau melakukan rihlah (perjalanan) guna belajar dihadapan para ulama. Inilah babak baru kehidupan ilmiah Sang Al Imam Al Mujaddid dalam kancah keilmuan.
Semangat juang untuk melakukan rihlah menuntut ilmu tumbuh subur setelah beliau haji. Maka, setelah kembali dari haji, selama beliau berada di daerahnya, suasana Mekkah selalu membayang. Beragam halaqah ilmu di Masjidil Haram seakan terus memanggil. Ingatan saat beliau berhaji sungguh membangunkan hasrat kuat untuk bertolak menuju Tanah Haram. Akhirnya, beliau pun melakukan rihlah. Seraya menunaikan haji kali keduanya, beliau membulatkan tekad untuk duduk bersimpuh di hadapan para ulama. Duduk bersimpuh mengarungi lautan ilmu.
Ringkas berhaji yang kali kedua, beliau menuju Madinah. Di Kota Nabi inilah beliau bertemu dengan para ulama. Madinah merupakan pusat ilmu. Asy Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab mempelajari ilmu hadis kepada ulama besar saat itu, Asy Syaikh Muhammad As Sindi رَحِمَهُ اللهُ. Banyak ilmu yang melekat pada diri beliau setelah belajar dalam kurun waktu bersama Asy Syaikh As Sindi. Di antaranya semangat dalam menegakkan As Sunnah dan menentang beragam bid’ah. Pemahaman inilah yang akhirnya menjadi salah satu corak dakwah yang diserukan oleh Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Selain kepada Asy Syaikh As Sindi, beliau pun berguru pula kepada ulama besar pada masanya di Kota Madinah, yaitu Asy Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif رَحِمَهُ اللهُ. Melalui Asy Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif, beliau menimba beragam ilmu. Bahkan beliau bisa meraih ijazah untuk dipercaya mengajarkan ilmu yang telah diajarkan gurunya. Dari Asy Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif ini pula beliau mendapatkan sanad dalam periwayatan. Di antaranya, Kitab Shahih Al Bukhari beserta sanadnya hingga ke Al Bukhari, Shahih Muslim beserta sanadnya, Sunan At Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan Ibnu Majah semuanya beserta sanadnya. Tentunya, ilmu-ilmu lainnya beliau pelajari pula. Asy Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif adalah sosok seorang alim yang begitu mengagumi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sehingga para muridnya didorong pula untuk mempelajari karya-karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Tak terkecuali Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Inilah pembelajaran yang banyak memberi warna dan pengaruh dalam jiwa Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Rihlah guna menuntut ilmu tak berhenti setelah dari Madinah. Setelah kembali ke tanah kelahirannya, selang beberapa lama Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pergi ke Bashrah. Suasana Bashrah diliputi ragam paham. Bahkan, ditemui pula pemahaman sesat kaum syiah. Keadaan demikian semakin menumbuhkan ghirah (kecemburuan) beliau terhadap Islam. Beliau tidak rela paham sesat syiah ini bercokol. Maka, saat di Bashrah, selain berguru untuk mendapat ilmu, beliau pun berdakwah menebar nasehat. Masyarakat Bashrah sebagian menerima nasehatnya. Namun, sebagian lain menunjukkan permusuhan. Entah, dengan cara bagaimana, mereka akhirnya melancarkan upaya pengusiran kepada Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab رَحِمَهُ اللهُ.
Dakwah beliau di Bashrah lebih pada masalah akidah. Beliau banyak berbicara tauhid dan sisi akidah lainnya. Maka, bagi kalangan yang menyimpang akidahnya, dakwah Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menjadi ancaman bagi amaliah dan tradisi menyimpangnya selama ini. Melihat situasi sebagian masyarakat Bashrah yang tidak baik, Asy Syaikh Muhammad pun meninggalkan kota tersebut. Itulah dakwah. Seringkali menemui ganjalan. Penyampaian kebenaran ditentang. Bahkan, diiringi pengusiran dan caci maki kepada dai yang mengajak ke jalan Allah. Ingat kisah pilu Rasulullah ﷺ saat diserang secara beringas oleh penduduk Thaif yang bodoh. Saat mereka diajak ke jalan keselamatan dan surga, justru mereka membalas dengan kekerasan fisik dan lisan. Penduduk Thaif mencela, mengumpat, mengeluarkan kata-kata di luar kepatutan seraya diiringi lemparan batu. Rasulullah ﷺ terluka. Beliau mendapat perlakuan keji. Namun, beliau tak membalas. Beliau tampakkan jiwa besar. Andai, beliau mau, beliau bisa berdoa memohon kepada Allah ﷻ untuk memberi balasan kepada mereka. Namun, itu tidak beliau lakukan. Beliau tidak putus harapan untuk mendatangi mereka lain kesempatan. Itulah akhlak mulia. Itulah ketinggian budi pekerti beliau. Wajib diteladani.
Demikian pula Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab رَحِمَهُ اللهُ. Selepas dari Bashrah, beliau singgah beberapa lama di daerah bernama Ahsa. Di kota ini beliau bertemu para ulama dan banyak membicarakan masalah tauhid. Dialog bersama para ulama di Ahsa melahirkan banyak faedah. Dialogdialog berkualitas yang mematangkan keilmuan. Bertolak dari Ahsa, Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab kembali ke Najed. Dengan demikian berakhirlah rihlah beliau dalam upaya meraup ilmu. Beliau tinggal di Najed tak lama. Karena ayahnya dipindahtugaskan sebagai hakim ke daerah Huraimala’, maka Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyusul ke Huraimala’. Dakwah tauhid merupakan dakwah yang dilakukan para rasul Allah. Dakwah yang menepis beragam kesyirikan dan menyerukan kepada segenap manusia untuk hanya beribadah kepada Allah ﷻ adalah dakwah yang diserukan Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Karena misi dakwahnya ini beliau banyak mendapat tentangan dari sebagian masyarakat. Keadaan seperti itu tak menjadikan beliau surut. Dengan kesungguhan hati beliau terus menerus menyerukan dakwah tauhid dan berupaya menegakkan sunnah. Berbagai rintangan yang menghadang adalah ujian bagi keikhlasan dan kesabaran. Karena dakwah yang beliau serukan, beliau pun pernah menjadi sosok yang terusir dari kampung halamannya. Dengan berjalan kaki beliau meninggalkan kampung halamannya, Uyainah.
Beliau terusir karena provokasi dari orang yang tak menyukai dakwahnya. Karena, saat itu dakwah beliau telah banyak diikuti masyarakat. Nah, saat seperti itulah muncul sosok manusia yang tak suka kepada beliau. Upaya untuk menghentikan laju keberhasilan dakwah pun dihembuskan. Termasuk penguasa di Uyainah pun dibisiki dengan informasi-informasi tak bertanggungjawab. Intinya, dakwah Asy Syaikh harus buyar. Itulah jalan dakwah. Bagi orang yang memiliki penyakit dalam hatinya akan berupaya merobek-robek tatanan dakwah. Bila perlu dengan beragam kamuflase. Seakan memperjuangkan dakwah, senyatanya ingin menghancurkan dakwah itu sendiri. Semoga Allah ﷻ menjaga para dai yang ikhlas berjuang di jalan-Nya. Namun, peristiwa yang dialaminya tak menjadikan semangat berdakwah putus. Peristiwa getir justru memberi banyak hikmah. Sikap tawakal tampak mencuat seiring pengusiran terhadap diri beliau. Seraya berjalan meninggalkan kampung halamannya, Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengucapkan berulang-ulang ayat,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجعَل لَهُ مَخرَجًا , وَيَرزُقهُ مِن حَيثُ لا يَحتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan jalan keluar baginya, dan Allah pasti memberinya rezeki dari arah yang tiada ia sangka.” [Q.S. Ath Thalaq:2-3]
Sosok penyabar dan sarat takwa. Cobaan demi cobaan harus dilalui. Namun, semua kepedihan dalam menunaikan dakwah bukan hal yang menjadikannya ciut lalu meninggalkan gelanggang dakwah. Sebagai manusia biasa, bisa saja kegetiran itu terasa menyakitkan, namun semua itu tidak boleh sampai melarutkannya. Tegar dalam dakwah. Begitulah keadaan beliau saat menghadapi beragam ujian. Beliau adalah sosok panutan dalam dakwah. Allahu a’lam.
Oleh: Al Ustadz Abu Faruq Ayip Syafrudin
Sumber: Sosok Panutan dalam Dakwah Majalah Qudwah
Edisi 56 Vol.05 1439H
Comment here